BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar
2.1.1
Tinjauan
umum tentang Pengetahuan
2.1.1.1 Pengertian
Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia yakni
indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Soekidjo Notoatmodjo).
Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
Pengetahuan adalah
penggunaan pikiran dan penalaran, logika serta bahasa. Dalam hal ini pikiran
mengajukan pertanyaan yang relevan dengan persoalan. Sedangkan penalaran
merupakan proses bagaimana pikiran menarik kesimpulan dari hal-hal yang
sebelumnya diketahui. Peran logika menjadi seperangkat asas yang mengarahkan
supaya berpikir menjadi benar (Wahyudin, 2006 : 38 – 40). Karena dari pengalaman
dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian
rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru
(berprilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yakni :
a.
Awarenees
(kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus (objek).
b.
Interest
(merasa tertarik) terhadap stimulus tersebut atau objek tersebut. Di sini sikap
subjek sudah mulai timbul.
c.
Evaluation
(menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
Hal ini berarti sikap sikap responden sudah lebih baik lagi.
d.
Trial,
di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
e.
Adoption,
di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus.
Pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain: adalah pendidikan formal. Jadi pengetahuan sangat
erat hubungan dengan pendidikan, di mana diharapkan bahwa dengan pendidikan
yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan
tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah,
mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa, peningkatan
pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi
dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang
suatu obyek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua
aspek inilah yang pada akhirnya akan menentukan sikap seseorang tentang suatu
obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dan obyek yang diketahui, maka
akan menimbulkan sikap makin positif terhadap obyek tertentu.
Pengetahuan menurut Anshari (dalam Notoatmodjo, 2003) dapat dibedakan menjadi empat
bagian, yaitu :
a.
Pengetahuan
Biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal yang biasa, yang sehari-hari, yang
selanjutnya disebut pengetahuan.
b.
Pengetahuan
Ilmiah, yaitu pengetahuan yang mempunyai sistem dan metode tertentu, yang
selanjutnya disebut ilmu pengetahuan.
c.
Pengetahuan
Filosofi, yaitu semacam ilmu yang istimewa, yang mencoba menjawab
masalah-masalah yang tidak terjawab oleh ilmu-ilmu biasa yang selanjutnya
disebut filsafat.
d.
Pengetahuan
Theologis, yaitu pengetahuan keagamaan, pengetahuan tentang agama, pengetahuan
tentang pemberitahuan dari Tuhan.
Pengetahuan oleh
Bloom (dalam Notoatmodjo, 2003) diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Pengetahuan
spesifik yang meliputi pengetahuan tentang istilah-istilah dan pengetahuan
tentang fakta-fakta spesifik.
b.
Pengetahuan
tentang metode dan sumber untuk melengkapi sesuatu dengan pokok-pokok yang
meliputi pengetahuan sebagai akidah, pengetahuan sebagai sesuatu yang
berpengaruh antara yang satu dengan yang lain dan berurutan, pengetahuan
sebagai klasifikasi dan kategori, pengetahuan sebagai metodologi.
c.
Pengetahuan
sebagai sesuatu yang universal dan abstrak yang terdiri atas pengetahuan
sebagai prinsip dan generalisasi dan pengetahuan sebagai teori dan struktur.
2.1.1.2 Tingkat Pengetahuan
di Dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang
tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan.
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan
sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk
kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan
untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau matari harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang real
(sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi
yang lain.
d.
Analisis
(Analysis)
Analisis
adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam
komponen-komponen tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan
kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokan dan sebagainya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada sesuatu kemampuan
untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun,
dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap
suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri,
atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.
2.1.1.3 Pengukuran
Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan menurut Soekidjo
Notoatmodjo dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan
tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas.
2.2
Konsep
Variabel yang diteliti
2.2.1
Tinjauan
Umum tentang Perawat
2.2.1.1
Defenisi
Perawat
Menurut
Undang-Undang RI .No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan
kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang
dimilikinya, yang diperoleh melalui pendidikan perawatan.
Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang di negara
bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung
jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien (Internasional
Council of Nursing, 2001)
2.2.1.2 Pendidikan Keperawatan
Salah
satu ciri profesionalisme keperawatan adalah adanya pohon ilmu dan pendidikan tinggi keperawatan. Pendidikan
keperawatan diselenggarakan berdasarkan kepada kebutuhan akan pelayanan keperawatan, seperti yang tercantum
dalam undang-undang kesehatan No
23/1992/pasal 32 ayat 3 dan 4 yang antara lain menyebutkan bahwa pengobatan dan/atau perawatan serta pelaksanaannya
dapat dilakukan.
2.2.1.3 Peran Perawat
Peran adalah tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam sistem, dimana
dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik
dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat
konstan. Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan 1989 terdiri
dari peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokat pasien, pendidik,
koordinator, kolaborator, konsultan dan peneliti. Berikut di bawah ini dapat
diuraikan peran perawat menurut konsorsium
ilmu kesehatan tahun 1989 adalah sebagai berikut:
a. Peran
sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran
ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia
melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan
sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat
sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar
Manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat
perkembangannya
b.
Peran sebagai
advokat pasien
Peran
ini dapat dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarga dalam
menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi
lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang
diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan
sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas
privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri
dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
c. Peran edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam
meningkatkan tingkat pengetahuan
kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi
perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan .
d. Peran koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan
serta mengorganisasi pelayanan
kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah dan sesuai dengan kebutuhan pasien.
e. Peran kolaborator
Peran
perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis ahli gizi
dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan
yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar
pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
f. Peran konsultan
Peran disini sebagai tempat konsultasi terhadap masalah
atau tindakan keperawatan yang tepat
untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan
keperawatan yang diberikan.
g. Peran pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan
perencanaan, kerjasama, perubahan yang
sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan.
2.2.1.4
Fungsi perawat
Fungsi
merupakan
suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya. Fungsi tersebut dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada. Dalam menjalankan
perannya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya fungsi
independen, fungsi dependen dan fungsi interdependen. Berikut di bawah ini akan diuraikan fungsi perawat menurut konsorsium
ilmu kesehatan tahun 1989 adalah sebagai
beikut :
a.
Fungsi
Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang
lain, dalam melakukan tindakan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan
kebutuhan fisiologis, keamanan dan kenyamanan, kebutuhan cinta mencintai, kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.
b. Fungsi dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan
kegiatannya atas pesan atau instruksi dari
perawat lain yang. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum
c. Fungsi interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat
saling ketergantungan diantara tim
satu dengan lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan
membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita
yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan
tim perawat saja melainkan juga dari dokter
atau tim lainnya, seperti dokter dalam memberikan tindakan pengobatan
bekerja sama dengan perawat dalam pemantauan reaksi obat yang telah diberikan.
2.3
Tinjauan
Umum tentang Standar Operasional Prosedur (SOP)
2.3.1
Defenisi
Standar Operasional Prosedur
Standar
Operasional Prosedur adalah suatu perangkat instruksi atau langka langkah
kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tertentu klien (Depkes RI,
2004). Merupakan tatacara atau tahapan yang harus dilalui dalam suatu proses kerja tertentu, yang dapat diterima oleh seorang
yang berwenang atau yangbertanggungjawab untuk mempertahankan tingkat
penampilan atau kondisi tertentu sehingga suatu kegiatan dapat diselesaikan
secara efektif dan efisien (Depkes RI, 1995). Tujuan
umum standar operasional prosedur adalah untuk mengarahkan kegiatan asuhan
keperawatan untuk mencapai tujuan yang efisien dan efektif sehingga
konsisten dan aman dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan melalui pemenuhan standar yang berlaku.
2.3.2
Tujuan khusus
standar operasional prosedur adalah
a. Menjaga
konsistensi tingkat penampilan kerja atau kinerja
b. Meminimalkan kegagalan, kesalahan dan kelalaian dalam
proses pelaksanaan kegiatan
c. Merupakan parameter untuk menilai mutu
kinerja dan pelayanan
d. Memastikan penggunaan sumber daya secara efisien dan
efektif
e. Menjelaskan alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari
petugas terkait
f. Mengarahkan
pendokumentasian yang adekuat dan akurat
2.3.2
Fungsi standar
operasional prosedur adalah :
a. Memperkuat
tugas petugas atau tim
b. Sebagai
dasar hukum dan etik bila terjadi penyimpangan
c. Mengetahui
dengan jelas hambatan-hambatan
d. Mengarahkan perawat dan bidan untuk disiplin dalam
bekerja
e. Sebagai
pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin
Standar selalu
berhubungan dengan mutu karena standar menentukan mutu. Standar dibuat untuk
mengarahkan cara pelayanan yang akan diberikan serta hasil yang ingin dicapai.
2.4
Perawatan luka
post op SC
2.4.1
Defenisi post
op SC
Tak semua persalinan dapat berlangsung
mulus, kadang terdapat indikasi medis yang mengharuskan seorang ibu melewati
proses persalinan dengan operasi. Operasi ini disebut dengan Sectio Caesarea.
Sectio Caesarea berasal dari
bahasa Latin, Caedere, artinya memotong. Sectio Caesarea adalah suatu cara
melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding rahim. Pada pasien yang
dilakukan operasi pembedahan untuk tindakan sectio cesarea ini memerlukan
beberapa perhatian karena ibu nifas yang melahirkan dengan operasi caesarea
agar dapat melewati fase penyembuhan pasca operasi tanpa komplikasi.
Proses persalinan operasi caesar
umumnya berlangsung sekitar satu jam. Pada pasien dengan pembiusan total,
kesadaran akan berlangsung pulih secara bertahap seusai penjahitan luka
operasi. Sedangkan pada pembiusan regional, dengan anasthesi epidural atau
spinal (memasukkan obat bius melalui suntikan pada punggung), ibu bersalin akan
tetap sadar hingga operasi selesai dan hanya bagian perut ke bawah akan hilang
sensasi rasa sementara.
2.4.2
Tujuan Perawatan Post Operasi.
Tujuan perawatan pasca operasi adalah
pemulihan kesehatan fisiologi dan psikologi wanita kembali normal. Periode
postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur pada ruang operasi sampai
pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya hidupnya.
Secara klasik, kelanjutan ini dibagi dalam tiga fase yang
tumpang tindih pada status fungsional pasien. Aturan dan perhatian para
ginekolog secara gradual berkembang sejalan dengan pergerakan pasien dari satu
fase ke fase lainnya. Fase pertama, stabilisasi perioperatif, menggambarkan
perhatian para ahli bedah terhadap permulaan fungsi fisiologi normal, utamanya
sistem respirasi, kardiovaskuler, dan saraf. Pada pasien yang berumur lanjut,
akan memiliki komplikasi yang lebih banyak, dan prosedur pembedahan yang lebih
kompleks, serta periode waktu pemulihan yang lebih panjang.
Periode ini meliputi pemulihan dari anesthesia dan
stabilisasi homeostasis, dengan permulaan intake oral. Biasanya periode
pemulihan 24-28 jam. Fase kedua, pemulihan postoperatif, biasanya berakhir 1-4
hari. fase ini dapat terjadi di rumah sakit dan di rumah. Selama masa ini,
pasien akan mendapatkan diet teratur, ambulasi, dan perpindahan pengobatan
nyeri dari parenteral ke oral. Sebagian besar komplikasi tradisional
postoperasi bersifat sementara pada masa ini. Fase terakhir dikenal dengan
istilah “kembali ke normal”, yang berlangsung pada 1-6 minggu terakhir.
Perawatan selama masa ini muncul secara primer dalam keadaan rawat jalan.
Selama fase ini, pasien secara gradual meningkatkan kekuatan dan beralih dari masa
sakit ke aktivitas normal.
2.4.3
Pedoman Perawatan Post Operasi
Setelah operasi selesai, penderita tidak boleh ditinggalkan
sampai ia sadar. Harus dijaga supaya jalan napas tetap bebas. Periode
postoperatif meliputi waktu dari akhir prosedur pada ruang operasi sampai
pasien melanjutkan rutinitas normal dan gaya hidupnya. Penderita yang menjalani
operasi kecuali operasi kecil, keluar dari kamar operasi dengan infus intravena
yang terdiri atas larutan NaCl 0,9% atau glukosa 5% yang diberikan
berganti-ganti menurut rencana tertentu. Di kamar operasi (atau sesudah keluar
dari situ) ia, jika perlu, diberi pula transfusi darah. Pada waktu operasi
penderita kehilangan sejumlah cairan, sehingga ia meninggalkan kamar operasi
dengan defisit cairan. Oleh karena itu, biasanya pascaoperasi minum air
dibatasi, sehingga perlu pengawasan keseimbangan antara cairan yang masuk
dengan infus, dan cairan yang keluar. Perlu dijaga jangan sampai terjadi
dehidrasi, tetapi sebaliknya juga jangan terjadi kelebihan dengan akibat edema
paru-paru. Untuk diketahui, air yang dikeluarkan dari badan dihitung dalam 24
jam berupa air kencing dan cairan yang keluar dengan muntah harus ditambah
dengan evaporasi dari kulit dan pernapasan. Dapat diperkirakan bahwa dalam 24
jam sedikitnya 3 liter cairan harus dimasukkan untuk mengganti cairan yang
keluar.
Sebagai akibat anestesi, penderita pascaoperasi biasanya
enek, kadang sampai muntah. Ia tidak boleh minum, sampai rasa enek hilang sama
sekali; kemudian, ia boleh minum sedikit-sedikit, untuk lambat laun
ditingkatkan. Dalam 24 sampai 48 jam pascaoperasi, hendaknya diberi makanan
cair; sesudah itu, apalagi jika sudah keluar flatus, dapat diberi makanan lunak
bergizi untuk lambat-laun menjadi makanan biasa.
Pada pascaoperasi peristalik usus mengurang dan baru lambat
laun pulih kembali. Pada hari kedua pascaoperasi biasanya usus bergerak lagi;
dengan gejala mules, kadang-kadang disertai dengan perut kembung sedikit.
Pengeluaran flatus dapat dibantu dengan pemberian dosis kecil prostigmin,
dengan teropong angin dimasukkan ke dalam rektum, dan kadang-kadang perlu
diberikan klisma kecil terdiri atas 150 cc. campuran minyak dan gliserin. Pemberian
antibiotik pada pascaoperasi tergantung dari jenis operasi yang dilakukan.
Misalnya, setelah kista ovarium kecil diangkat, tidak perlu diberi antibiotik;
akan tetapi sesudah histerektomi total dengan pembukaan vagina, sebaiknya obat
tersebut diberikan.
Pasien dengan masalah kesehatan membutuhkan perawatan
postoperatif dalam ICU untuk mendapatkan ventilasi jangka panjang dan
monitoring sentral. Ketika pasien diserahterimakan kepada perawat harus
disertai dengan laporan verbal mengenai kondisi pasien tersebut berupa
kesimpulan operasi dan intruksi pasca operatif. Intruksi pasca operatif harus
sesuai dengan elemen berikut:
2.4.3.1 Tanda Tanda Vital
Evaluasi tekanan darah, nadi, dan laju pernapasan dilakukan
setiap 15-30 menit sampai pasien stabil kemudian setiap jam setelah itu paling
tidak untuk 4-6 jam. Beberapa perubahan signifikan harus dilaporkan sesegera
mungkin. Pengukuran ini, termasuk temperatur oral, yang harus direkam 4 kali
sehari untuk rangkaian sisa pasca operatif. Anjurkan pernapasan dalam setiap
jam pada 12 jam pertama dan setiap 2-3 jam pada 12 jam berikutnya. Pemeriksaan
spirometri dan pemeriksaan respirasi oleh terapis menjadi pilihan terbaik,
utamanya pada pasien yang berumur tua, obesitas, atau sebaliknya pada pasien
lainnya yang bersedia atau yang tidak bisa berjalan.
2.4.3.2 Perawatan Luka
Fokus penanganan luka adalah
mempercepat penyembuhan luka dan meminimalkan komplikasi dan biaya
perawatan. Fokus utama dalam penanganan luka adalah dengan evakuasi semua
hematoma dan seroma dan mengobati infeksi yang menjadi penyebabnya. Perhatikan
perdarahan yang terlalu banyak (inspeksi lapisan dinding abdomen atau
perineal). Lakukan pemeriksaan hematokrit sehari setelah pembedahan mayor dan,
jika perdarahan berlanjut, diindikasikan untuk pemeriksaan ulang. Luka abdomen
harus diinspeksi setiap hari. Umumnya luka jahitan pada kulit dilepaskan 3-5
hari postoperasi dan digantikan dengan Steri-Strips.Idealnya, balutan luka
diganti setiap hari dan diganti menggunakan bahan hidrasi yang baik. Pada luka
yang nekrosis, digunakan balutan tipis untuk mengeringkan dan mengikat jaringan
sekitarnya ke balutan dalam setiap penggantian balutan. Pembersihan yang sering
harus dihindari karena hal tersebut menyebabkan jaringan vital terganggu dan
memperlambat penyembuhan luka
a. Pengertian
Suatu penanganan luka yang terdiri dari membersihkan luka,
mengangkat jahitan, menutup dan membalut luka sehinga dapat membantu proses
penyembuhan luka.
b. Tujuan
1. Mencegah terjadinya infeksi.
2. Mempercepat proses penyembuhan luka.
3. Meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologis.
c. Persiapan
1. Alat
• Set perawatan luka dan angkat
jahitan dalam bak instrumen steril :
- Sarung tangan steril.
- Pinset 4 (2 anatomis, 2 cirurgis)
- Gunting hatting up.
- Lidi waten.
- Kom 2 buah.
- Kasa steril.
• Plester
• Gunting perban
• Bengkok 2 buah
• Larutan NaCl
• Perlak dan alas
• Betadin
• Korentang
• Alkohol 70%
• Kapas bulat dan sarung tangan
bersih
2. Lingkungan
- Menutup tirai / jendela.
- Merapikan tempat tidur.
3. Pelaksanaan
- Mengatur posisi
sesuai dengan kenyamanan pasien.
- Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
- Inform Consent.
d. Prosedur Pelaksanaan
1.
Jelaskan
prosedur pada klien dengan menggambarkan langkah-langkah perawatan luka.
2.
Dekatkan
semua peralatan yang diperlukan.
3.
Letakkan
bengkok dekat pasien.
4.
Tutup
ruangan / tirai di sekitar tempat tidur.
5.
Bantu
klien pada posisi nyaman.
6.
Cuci
tangan secara menyeluruh.
7.
Pasang
perlak dan alas.
8.
Gunakan
sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester. Angkat balutan dengan
pinset.
9.
Lepaskan
plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan, sejajar pada
kulit dan mengarah pada balutan.
10.
Dengan
sarung tangan/pinset, angkat balutan.
11.
Bila
balutan lengket pada luka, lepaskan dengan memberikan larutan NaCl.
12.
Observasi
karakter dan jumlah drainase.
13.
Buang
balutan kotor pada bengkok, lepaskan sarung tangan dan buang pada bengkok yang
berisi Clorin 5%.
14.
Buka
bak instrumen, siapkan betadin dan larutan NaCl pada kom, siapkan plester,
siapkan depres.
15.
Kenakan
sarung tangan steril.
16.
Inspeksi
luka, perhatikan kondisinya, letak drain, integritas jahitan dan karakter
drainase serta palpasi luka (kalau perlu).
17.
Bersihkan
luka dengan larutan NaCl dan betadin dengan menggunkan pinset. Gunakan satu
kasa untuk setiap kali usapan. Bersihkan dari area yang kurang terkontaminasi
ke area yang terkontaminasi. Gunakan dalam tekanan progresif menjauh dari
insisi/tepi luka.
18.
Gunakan
kasa baru untuk mengeringkan luka/insisi. Usap dengan cara seperti pada langkah
17.
19.
Melepaskan
jahitan satu persatu selang seling dengan cara : menjepit simpul jahitan dengan
pinset cirurgis dan ditarik sedikit ke atas kemudian menggunting benang tepat
dibawah simpul yang berdekatan dengan kulit/pada sisi lain yang tidak ada
simpul.
20.
Olesi
luka dengan betadin.
21.
Menutup
luka dengan kasa steril dan di plester.
22.
Merapikan
pasien.
23.
Membersihkan
alat-alat dan mengembalikan pada tempatnya.
24.
Melepaskan
sarung tangan.
25.
Perawat
mencuci tangan.
e. Hal – hal yang perlu diperhatikan
26. Pengangkatan balutan dan pemasangan
kembali balutan dapat menyebabkan pasien terasa nyeri.
27. Cermat dalam menjaga kesterilan.
28. Mengangkat jahitan sampai bersih
tidak ada yang ketinggalan.
29. Teknik pengangkatan jahitan di
sesuaikan dengan tipe jahitan.
30. Peka terhadap privasi klien. (dr.
hakimi, 2010)
0 komentar:
Posting Komentar